Beranda | Artikel
Antara Kesyirikan Dan Kebodohan
Minggu, 4 September 2016

ANTARA KESYIRIKAN DAN KEBODOHAN

Oleh
Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc MA

قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ﴿٦٤﴾وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴿٦٥﴾بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Katakanlah: “Apakah kalian menyuruh aku beribadah kepada selain Allâh, wahai orang-orang yang jâhil (bodoh)?” Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Oleh karena itu, hendaklah Allâh saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” [Az-Zumar/39:64-66]

TAFSIR RINGKAS
Katakanlah wahai Rasul kepada orang-orang jâhil (bodoh) tersebut yang mengajakmu untuk beribadah kepada selain Allâh. Apakah kalian menyuruh aku menyembah kepada selain Allâh, wahai orang-orang yang jâhil (bodoh)?” Perintah ini berasal dari kebodohan kalian. Seandainya kalian memiliki ilmu tentang Allâh itu Maha Sempurna di segala sisi, memberikan seluruh kenikmatan dan Dia-lah yang berhak untuk diibadahi -tidak seperti orang yang memiliki kekurangan di setiap sisi, tidak bisa mendatangkan manfaat dan tidak bisa membahayakan-, maka tentu kalian tidak akan memerintahkanku untuk melakukan hal tersebut, karena kesyirikan dapat menghapuskan amalan-amalan dan merusak keadaan-keadaan. Oleh karena itu, Allâh berfirman (yang artinya), Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu,” yaitu seluruh nabi, jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalanmu… Ini mencakup seluruh amalan. Dan disebutkan di dalam risalah seluruh nabi bahwasanya kesyirikan menghapuskan seluruh amalan-amalan sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla katakan di dalam surat al-An’âm[1] setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan beberapa (kisah) para nabi dan rasul, Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang mereka:

ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Itu adalah petunjuk Allâh. Allâh menunjuki siapa saja di antara hamba-hamba-Nya. Jika mereka berbuat syirik, maka akan terhapuslah dari mereka apa-apa yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’âm/6:88]

Dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi,” baik agama maupun akhiratmu. Dengan melakukan perbuatan syirik, maka amalan-amalan akan dihapuskan dan pelakunya berhak mendapatkan hukuman dan balasan.

Oleh karena itu, hendaklah Allâh saja kamu sembah.” Setelah Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa orang-orang bodoh menyuruh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbuat syirik dan mengabarkan keburukan hal tersebut, kemudian Allâh Azza wa Jalla menyuruh untuk berbuat ikhlas. Oleh karena itu, hendaklah Allâh saja kamu sembah,” yaitu murnikanlah ibadah hanya kepada-Nya dan janganlah berbuat syirik kepada-Nya.

Dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas taufîq Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla disyukuri dengan kenikmatan dunia (yang telah Allâh Azza wa Jalla berikan kepadamu), seperti: kesehatan dan keselamatan badan, mendapatkan rezeki dan lain-lain, maka Allâh Azza wa Jalla juga disyukuri dan dipuja dengan kenikmatan (yang telah Allâh Azza wa Jalla berikan kepadamu), seperti: mendapatkan taufîq untuk bisa berikhlas dan bertakwa.

Bahkan kenikmatan agama adalah kenikamatan yang hakiki. Ketika seseorang merenungi bahwa kenikmatan-kenikmatan tersebut berasal dari Allâh Azza wa Jalla dan dia bersyukur atas kenikmatan tersebut, maka dia akan selamat dari penyakit ‘ujub (kagum pada diri sendiri) yang banyak terjangkit pada orang-orang yang beramal. Ini disebabkan kebodohan mereka. Jika seorang hamba mengetahui keadaan yang sebenarnya, maka dia tidak akan berlaku ‘ujub, justru (dengan demikian) dia akan semakin menambah kesyukurannya.[2]

PENJABARAN AYAT
Firman Allâh

قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ

Katakanlah, ‘Apakah kalian menyuruh aku menyembah kepada selain Allâh, Hai orang-orang yang jâhil (bodoh)?’

Tauhid Adalah Cahaya Sedangkan Kesyirikan Adalah Kegelapan Dan Kebodohan
Allâh Azza wa Jalla menyeru manusia untuk mentauhidkan-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan seluruh Rasul untuk menyampaikan kepada umatnya bahwa tidak ada ilâh (sembahan) yang berhak diibadahi kecuali Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ ۗ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Allâh pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Sedangkan orang-orang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah thâghût, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. [Al-Baqarah/2:257]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman dikeluarkan oleh Allâh Azza wa Jalla dari kegelapan menuju cahaya. Sebaliknya, orang-orang kafir wali-wali (penolong-penolong) mereka adalah para thâghût yang membawa mereka dari cahaya menuju kegelapan.

Inilah hakikat dari kesyirikan. Dia adalah kegelapan, karena dasarnya adalah kebodohan pelakunya tentang Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla  menyuruh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membantah orang-orang musyrik yang mengajak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyembah tuhan-tuhan kaum musyrikin. Sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:

قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ

Katakanlah, ‘Apakah kalian menyuruh aku menyembah kepada selain Allâh, Hai orang-orang yang jâhil (bodoh)?’

Syaikh Muhammad ath-Thâhir Ibnu ‘Âsyûr rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya, “Dalam ayat tersebut terdapat isyarat bahwa keimanan adalah saudara dari ilmu. Keduanya adalah cahaya dan ma’rifatu haqq (sebagai sebab agar bisa mengenal kebenaran). Dan sesungguhnya kekafiran adalah saudara dari kesesatan. Sesungguhnya kekafiran dan kesesatan adalah kegelapan dan keraguan yang batil.”[3]

Ketika Nabi Hûd Alaihissallam mendakwahi kaumnya untuk meninggalkan kesyirikan, ternyata mereka menentang Nabi Hûd Alaihissallam . Kemudian beliau mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاذْكُرْ أَخَا عَادٍ إِذْ أَنْذَرَ قَوْمَهُ بِالْأَحْقَافِ وَقَدْ خَلَتِ النُّذُرُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ ﴿٢١﴾ قَالُوا أَجِئْتَنَا لِتَأْفِكَنَا عَنْ آلِهَتِنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ ﴿٢٢﴾ قَالَ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ وَأُبَلِّغُكُمْ مَا أُرْسِلْتُ بِهِ وَلَٰكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ

Dan ingatlah (Hûd), saudara kaum ‘Âd, yaitu ketika dia memberi peringatan kepada kaumnya di Al-Ahqâf. Dan sesungguhnya telah terdahulu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan sesudahnya (dengan mengatakan): “Janganlah kalian menyembah selain Allâh! Sesungguhnya aku khawatir kalian akan ditimpa azab hari yang besar.” Mereka menjawab, “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari (menyembah) tuhan-tuhan kami? Maka datangkanlah kepada kami azab yang telah kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar!” Dia berkata, “Sesungguhnya pengetahuan (tentang itu) hanya pada sisi Allâh dan aku (hanya) menyampaikan kepada kalian apa yang aku diutus dengan membawanya, tetapi aku lihat kalian adalah kaum yang bodoh.” [Al-Ahqâf/46: 21-23]

Begitu pula ketika kaum Nabi Musa Alaihissallam melihat kaum musyrikin menyembah berhala-berhala, kaumnya pun meminta kepada Nabi Musa Alaihissallam agar beliau menjadikan sebuah berhala untuk disembah. Nabi Musa Alaihissallam pun mengingkari hal tersebut dan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh.

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَىٰ قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَىٰ أَصْنَامٍ لَهُمْ ۚ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang sedang menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata, “Hai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)!” Musa menjawab: “Sesungguh-nya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).” [Al-A’râf/7:138]

Orang-Orang Bodoh Dan Mengikuti Hawa Nafsu TidakAkan Bisa Menerima Tauhid
Orang-orang yang bodoh, sepintar apapun dia dalam urusan dunia; sepandai apapun dia dalam  kemajuan teknologi; secermat apapun dia dalam menguasai ilmu pengetahuan; tidak akan mungkin bisa menerima tauhid ini dengan benar, karena hanya orang-orang yang  mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla saja yang dikatakan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai orang yang berakal.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىٰ ۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ ﴿١٩﴾ الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu adalah suatu kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allâh dan tidak merusak perjanjian. [Ar-Ra’du/13:19-20]

Allâh Azza wa Jalla juga mensifati mereka sebagai orang-orang yang tuli, bisu dan buta karena mereka tidak bisa menggunakannya untuk mengenal dan mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً ۚ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka itu tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu), mereka tidak berakal (tidak mengerti). [Al-Baqarah/2:171]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ ﴿٦٦﴾ أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Ibrâhîm berkata, “Maka mengapakah kalian menyembah kepada selain Allâh sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kalian?” Ah! (celakalah) kalian dan apa yang kalian sembah selain Allâh. Maka apakah kalian tidak memahami?” [Al-Anbiyâ’/21:66-67]

Meskipun didatangkan dalil-dalil atau bukti-bukti yang nyata, maka mereka tetap saja tidak akan mau menerima kebenaran. Ini karena kebodohan dan hawa nafsu mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَىٰ وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلًا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ

Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allâh menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui. (QS. Al-An’âm/6:111)

Firman Allâh:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.

Pembicaraan pada ayat ini meskipun ditujukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ini tidak hanya berlaku untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tetapi berlaku juga untuk seluruh umatnya.[4]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Itulah petunjuk Allâh, yang dengannya dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakinya di antara hamba-hambaNya. seandainya mereka mempersekutukan Allâh, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [Al-An’âm/6:88]

Orang Muslim yang telah menunaikan ibadah haji, kemudian murtad, kemudian kembali ke dalam agama Islam, apakah dia wajib mengulang hajinya?

Permasalahan yang serupa dengan di atas, apabila seorang Muslim telah melakukan shalat Zhuhur, kemudian murtad, kemudian sebelum datang waktu shalat ‘Ashr dia kembali ke dalam agama Islam, apakah dia wajib mengulangi shalat Zhuhur-nya?

Para Ulama berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat. Pendapat pertama, dia wajib mengulang haji dan shalatnya, sedangkan pendapat kedua dia tidak perlu mengulang haji dan shalatnya.

Pendapat pertama adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Abu Hanîfah rahimahullah dan Imam Mâlik rahimahullah. Mereka berdalil dengan ayat yang sedang kita bahas ini, yaitu:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.

Mereka menyatakan bahwa ayat ini muthlaq, sehingga seluruh amalan yang dilakukan sebelum murtad ikut terhapus. Mereka juga mengatakan bahwa orang-orang yang murtad, sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat tersebut, adalah orang-orang yang merugi, sehingga tidak akan mendapatkan amalan-amalan yang  dia lakukan sebelum dia murtad.

Sedangkan pendapat yang kedua adalah pendapat yang dipegang oleh Imam asy-Syâfî rahimahullah, Imam Ahmad rahimahullah dan Imam Ibnu Hazm rahimahullah. Mereka mengatakan bahwa ayat tersebut tidak berlaku muthlaq (umum), karena ada ayat lain yang membatasinya (men-taqyîd-nya), yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

Barangsiapa beramal seberat biji sawi kebaikan, maka dia akan melihatnya. [Az-Zalzalah/99:7]

Begitu pula firman Allâh Azza wa Jalla :

أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ

Sesungguhnya saya tidak akan menghilangkan amalan orang yang beramal di antara kalian, baik dari kalangan laki-laki maupun wanita. [Ali ‘Imran/3:195]

Kedua ayat ini bersifat umum dan tidak boleh dikhususkan. Sehingga dalil yang digunakan oleh pendapat pertama kurang tepat. Dalil tersebut hanya berlaku untuk orang-orang yang murtad dan mati dalam keadaan kafir.

Adapun perkataan pendapat yang pertama yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang merugi, ini juga tidak bisa dijadikan dalil, karena orang yang murtad kemudian kembali ke dalam agama Islam, maka mereka bukanlah orang-orang yang merugi, tetapi mereka adalah orang-orang yang beruntung dengan keislamannya.

Dengan demikian, pendapat kedualah pendapat yang râjih insya Allâh. Orang tersebut tidak perlu mengulang haji dan shalat Zhuhurnya.[5]

Firman Allâh

بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Oleh karena itu, hendaklah Allâh saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hanya beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan agar Beliau termasuk orang-orang yang bersyukur. Perintah ini walaupun hanya disebutkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, tetapi perintah ini tidak hanya untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Perintah ini juga harus dilakukan oleh seluruh umatnya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba yang paling bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu anhumapernah menegur Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Beliau menghidupkan sebagian besar malamnya dengan shalat malam dan memperpanjang berdirinya sampai kedua kakinya pecah-pecah. Ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu anhumaberkata:

لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا

“Mengapa engkau lakukan hal ini ya Rasûlullâh? Bukankah Allâh telah mengampuni dosamu yang sebelum dan sesudahnya?” Beliau pun berkata, “Apakah saya tidak suka, jika saya menjadi seorang hamba yang suka bersyukur?”[6]

Rukun Syukur
Seorang hamba tidak dikatakan bersyukur kepada Allâh kecuali dia telah melaksanakan rukun-rukun syukur.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah t mengatakan bahwa syukur terbangun di atas tiga rukun, yaitu: mengakui kenikmatan di dalam hatinya, mengungkapkan kenikmatan tersebut dengan ditampakkan dan menggunakan kenikmatan tersebut untuk (melakukan) hal-hal yang diridai oleh pemilik, pengasih dan pemberi kenikmatan tersebut. Apabila seseorang telah melakukan hal ini maka dia telah bersyukur.“[7]

Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu ceritakanlah. [Adh-Dhuha/93:11]

Karena menceritakan kenikmatan itu termasuk bentuk kesyukuran kepada Allâh Azza wa Jalla . Begitu pula firman Allâh Azza wa Jalla :

اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

Bekerjalah (beramallah) hai keluarga Dâwûd untuk bersyukur (kepada Allâh). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang suka bersyukur [Saba’/34:13]

Karena mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allâh Azza wa Jalla serta mengerjakan amal-amal shalih yang lainnya termasuk bentuk kesyukuran kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Orang yang menggunakan akal dan kepintarannya dengan baik dan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla , maka dia akan bertauhid (hanya mengesakan Allâh dalam beribadah) dan tidak akan berbuat syirik, karena perbuatan syirik didasarkan atas kebodohan seseorang.
  2. Iman dan ilmu dapat menuntun seseorang untuk mendapatkan kebenaran.
  3. Syirik dapat menghapuskan seluruh amalan yang pernah dilakukan oleh seorang muslim dan dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang rugi jika mati dalam keadaan seperti itu.
  4. Orang muslim yang telah berhaji, kemudian dia murtad, kemudian kembali ke dalam agama Islam, dia tidak perlu mengulangi hajinya.
  5. Seseorang dikatakan bersyukur apabila dia bersyukur dengan hati dan lisannya, serta dia menggunakan kenikmatan-kenikmatan yang diberikan kepadanya hanya untuk melakukan hal-hal yang diridhai oleh Allâh subhanahu wa ta’ala.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudahan Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan kita ke dalam golongan orang-orang yang bodoh dan memberikan hidayah kepada kita agar kita bisa bertauhid dan bersyukur kepada-Nya. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
  2. Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Mishriyah.
  3. Al-Muhallâ. Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Al-Andalusi. Damaskus: Darul-Fikr.
  4. At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Muhammad Ath-Thâhir bin ‘Âsyûr. 1997. Tunisia: Dar Sahnûn.
  5. AlWâbil Ash-Shayyib Minal-Kalimiththayyib. Muhammad bin Abi Bakr Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beirut: Darul-Kitab Al-‘Arabi.
  6. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
  7. Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
  8. Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
  9. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Ayat 88.
[2] Tafsîr As-Sa’di hlm. 729.
[3] At-Tahrîr wat-Tanwîr XXIV/37.
[4] Tafsîr al-Qurthubi XV/276.
[5] Lihat al-Muhallâ VII/277 dan Tafsîr Al-Qurthubi XV/277.
[6] HR Al-Bukhâri no. 4837.
[7] Al-Wâbil Ash-Shayyib hlm. 11.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5662-antara-kesyirikan-dan-kebodohan.html